Oleh: Al Bara, ME.I
Penulis merupakan akademisi dan Pemerhati demokrasi
MEDAN (HARIANSTAR.COM) - Memasuki tahun 2024 adalah tahun politik; pemilihan umum (pemilu). Dimana pemilu merupakan keadaan yang sangat penting untuk diperhatikan oleh semua kalangan masyarakat Indonesia. Khususnya bagi penyelenggara pemilu yang bersifat hirarkis, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu).
Pemilu dilakukan secara demokrastis setiap periode lima tahun sekali, dengan tujuan untuk menyeleksi pemimpin di pemerintahan baik jalur eksekutif dan legislatif agar terwujudnya pemerintahan yang demokratis, kuat dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan cita-cita nasional yang tertulis secara permanen di dalam UU 1945.
Yang menjadi pertanyaan, apakah pengawasan pemilu sudah berjalan dengan ‘maksimal’? dari beberapa teman-teman penulis yang sempat sharing kepada penulis, mereka sedikit kesulitan untuk melakukan pengawasan di lapangan, pasalnya hanya persoalan keterbatasan data. Padahal dasar hukum yang dipegang oleh Bawaslu sebagai pengawas pemilu sudah ada, yaitu UU No 5 Tahun 2022, ternyata, kontradiktif dengan apa yang terjadi di lapangan; kesulitan informasi data. Bawaslu kesulitan untuk meminta data dari penyelenggara KPU.
Dalam hal itu, anggota bawaslu kabupaten/kota tidak menyalahkan penyelenggara KPU kabupaten/kota, sebab KPU juga memiliki pegangan komitmen dengan UU. Dasar hukum KPU tidak memberikan data kesemua pengawas memiliki dasar hukum, yaitu UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Penduduk dan Aturan Kependudukan, serta fakta integritas yang ditandatangani untuk melaksanakan UU tersebut. Perlindungan data yang dimaksud adalah mengenai identitas seseorang lainnya yang tercantum pada kartu tanda penduduk elektornik (KTP-el) dan Kartu Keluarga (KK). Sementara data spesifik yang berkaitan dengan data informasi kesehatan, catatan kejahatan, biometrik, genetika, anak, dan keuangan pribadi, Penguatannya ada di pasal 4.
Merujuk pada UU No 7 tahun 2017, terkait Pemilu disebutkan bahwa, Bawaslu Kabupaten/Kota diperbolehkan mendapatkan akses data seluas-luasnya. Selain itu bawaslu juga dikuatkan oleh Surat Edaran Bawaslu Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pencegahan Dugaan Pelanggaran dan Pengawasan Tahapan Pemutakhiran dan Penyusunan Daftar Pemilih dalam Pemilu Tahun 2024.
Keterbatasan data yang dimikili oleh Bawaslu, menjadi penghambat lembaga ini untuk mendeteksi potensi pelanggaran tahapan pemilu hingga pemilu dilaksanakan. Dua lembaga penyelenggara pemilu kabupaten/kota se-Indonesia, bergerak atas dasar UU yang telah dipegang dan UU tersebut berlaku permanen. Sehingga, menjadi bentrok opini antara Bawaslu dan KPU se-Indonesia dan tidak menemukan solusi terkait permasalahan yang dihadapi.
Menghadapai tahun politk 2024, permasalahan yang akan di hadapai sangat berat, dan berpotensi mengganggu konsentrasi penyelenggara. Belum lagi masuk pemilu 2024, konsentrasi penyelengara terganggu yang di uji oleh benturan UU kepemiluan yang kontradiktif, yaitu persoalan kerahasiaan data, KPU; berpegang pada UU Nomor 27 Tahun 2022. Bawaslu; berpegang pada UU No 7 tahun 2017, Surat Edaran Bawaslu Nomor 1 Tahun 2023. Jika konsentrasi penyelenggara KPU-Bawaslu terganggu, akan berkontraksi kepada badan ad hock dan semakin menimbulkan masalah lagi di internal penyelenggara.
Solusi Penulis
Dua penyelengara, KPU dan Bawaslu adalah lembaga yang dibentuk sebagai penguat demokrasi untuk menyeleksi pemimpin di negeri ini yang berpedoman kepada pancasia sebagai dasar negara (TAP MPR No. II/1978). Adalah tidak mudah, akan menghadapi tantangan-tantangan yang ribet pada saat menjalankannya (tidak semudah teori). Maka, penulis memberikan sumbangsih pemikiran terkait persoalan data.
Yaitu, Bawaslu tetap semangat dan terus berjalan sesuai dengan prosedur dan UU yang berlaku demi jihad konstitusi di negara ini. Begitu juga sebaliknya dengan KPU. Apabila terjadi perselisihan terkait perolehan data. Sebaiknya KPU memberikan semua data dengan komitmen yang dibuat. Pertama, data yang diberikan KPU ke Bawaslu digunakan sebagaimana mestinya untuk kepentingan pengawasan persoalan di lapangan. Kedua, apabila data yang diperoleh Bawaslu dari KPU disalahgunakan, maka Bawaslu bertanggung jawab penuh.
Secara delik hukum, menurut penulis, tidak ada persoalan jika KPU memberikan data kepada bawaslu. Sebab, semua itu demi kepentingan suksesi pemilu yang demokratis sebagai sarana kedaulatan rakyat. dengan demikian, terbuktilah bahwa pengawasan pemilu sebagai bukti keadilan, kebijakan dan permusyawaratan, sila ke 4: ‘kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijakan dalam permusyawaratan/perwakilan . Semoga bermanfaat. (*)